Rabu, 14 September 2016

Jurnalis dan Konvergensi Media

KAPITA SELEKTA
KAMIS,  8 September 2016 
TUGAS 2 - KELAS C 
CRISTINA MARGARETTA (9125120128) 
YOVINA SUSANTI SUHANDRI (915120035)





Kegiatan jurnalisme di era modern atau era tekonologi digital bergerak dan berkembang ke suatu bentuk jurnalisme baru yang ditunjang dengan media baru, yaitu internet. Bentuk jurnalisme ini dikenal dengan jurnalisme 2.0. Salah satu alasan Jurnalisme 2.0 hadir adalah karena para jurnalis harus siap melakukan aktivitas jurnalisme melalui berbagai saluran.
Pada mulanya perkembangan media online sempat membuat berbagai media cetak khawatir. Media-media cetak sempat mengkhawatirkan bahwa media online akan “menghabisi” media cetak karena melihat kecenderungan konsumsi media online masyarakat sekarang ini. Namun, ternyata yang terjadi adalah kebalikan dari kekhawatiran tersebut.
Media cetak kini saling berlomba membuat situs medianya. Hampir seluruh media cetak kini memiliki website atau versi online dari versi media cetaknya. Salah satu dampak positif dari dibuatnya versi online suatu media cetak tentu terbukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat akibat adanya pembagian kerja dan deskripsi kerja (job description) yang berbeda antara kedua versi media tersebut.
Dampak positif lainnya adalah distribusi pesan atau berita yang semakin cepat. Suatu peristiwa atau kejadian bisa saja dilaporkan atau di-update langsung saat peristiwa tersebut terjadi karena semakin canggihnya teknologi saat ini. 
Selain itu, perkembangan jurnalisme online tidak hanya berhenti sampai situ. Kini media-media cetak pun tidak kalah bersaing dalam membuat serta meng-update secara cepat dan berkala akun-akun resmi jejaring sosialnya, seperti Facebook dan Twitter. Berita yang di-update melalui situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, terbukti mampu “menyerap” perhatian publik dalam waktu singkat. Bahkan tidak jarang pula, media-media, baik cetak maupun online, mendapatkan berita dari berbagai pembicaraan publik atau akibat reaksi publik yang terjadi di dunia maya.
Dalam perkembangan situs jejaring sosial, situs microblogging seperti Twitter adalah suatu situs yang sangat diminati oleh berbagai media. Berbeda dengan Facebook yang didesain untuk menjaring pertemanan, Twitter didesain untuk menyebarkan dan meng-update pesan-pesan singkat.
Fenomena Jurnalisme Twitter
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, potensi munculnya bad journalism(jurnalisme “nakal”) pun semakin besar. Walaupun situs microblogging, seperti Twitter memberi banyak dampak positif bagi perkembangan jurnalisme, khususnya di Indonesia, berbagai dampak negatif pun tetap tidak dapat terhindarkan. Bentuk jurnalisme baru pun kini mulai hadir. Suatu fenomena baru dalam dunia jurnalisme kini hadir dengan bentuk “Jurnalisme Twitter”.
Jurnalisme ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan jurnalisme online, hanya saja para jurnalis yang dikenal dengan Jurnalisme Twitter adalah para jurnalis yang sering kali memanfaatkan Twitter sebagai sumber berita. Lantas, bagaimana dengan keakurasian data atau berita tersebut? Walaupun berita ter-update dengan sangat cepat, keakuratan berita tetap harus menjadi yang paling penting karena menyangkut kredibilitas jurnalisme dan tentunya perusahaan media tersebut.
Bentuk negatif lainnya dari fenomena Jurnalisme Twitter ini juga hadirnya berbagai judul-judul berita yang menggantung, tidak jelas, dan sensasional. Hal-hal seperti ini pun tidak jarang terjadi pada media-media cetak yang sudah mempunyai nama besar di Indonesia. Tentunya fenomena ini menjadi semakin menarik untuk dikaji karena prinsip-prinsip dan etika-etika jurnalisme yang dahulu dipegang teguh oleh para jurnalis semakin lama semakin “luntur” akibat perkembangan teknologi yang di satu sisi memang memudahkan pendapatan sumber informasi, tapi di satu sisi juga dapat mengaburkan pemberitaan informasi.
Kecepatan dan Keakuratan Berita
Selasa, 18 Mei 2010, Indonesia sempat dikejutkan dengan berita meninggalnya pencipta lagu Bengawan Solo, Gesang. Berita ini bermula dari kicauan akun salah satu stasiun televisi yang kemudian dengan cepat menyebar di linimasa Twitter. Berita meninggalnya Gesang tentu saja sangat mengagetkan khalayak luas. Dampak pemberitaan itu pun benar-benar sangat luas. Pihak keluarga pun harus mengeluarkan pernyataan bahwa Gesang belum wafat, tapi masih menjalani perawatan intensif di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah, Solo, Jawa Tengah karena menderita gangguan lemah jantung dan saluran kemih.
Dari sana pun akhirnya mulai muncul berbagai komentar publik mengenai Jurnalisme Twitter. Komentar-komentar tersebut tentu saja bukanlah untuk memuji kepiawaian para jurnalis stasiun televisi berita tersebut melainkan menyindir dengan sangat keras. Pemberitaan yang tidak akurat yang diturunkan stasiun televisi berita itu sangat menyesatkan publik dan berdampak sangat luas. Hal ini harusnya bisa dihindari karena seharusnya seorang jurnalis tidak akan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sesuatu yang belum pasti dan tidak sesuai fakta di lapangan.

Senin, 7 Maret 2011, akun Twitter Kompas.com mengeluarkan satu tweet yang cukup sensasional. Tweet tersebut yang merupakan judul dari artikel yang dipublikasikan di situs Kompas.com berjudul, “Maradona Hilang Tergulung Ombak di Bali”. Nama “Maradona” tentu dikenal masyarakat sebagai Maradona sang legenda sepakbola Argentina, Diego Maradona. Namun, ternyata di berita tersebut diceritakan mengenai delapan remaja asal Buleleng, Bali yang tergulung ombak saatmelukat atau membersihkan diri usai Nyepi di pantai Pangyangan. Tiga dari delapan remaja itu, Komang Maradona, Putu Juli Ardika, dan Agung Gede Krisyudiarta belum ditemukan. Jadi, “Maradona” yang dimaksud adalah salah seorang remaja Bali. Sementara itu, penjelasan mengenai “Maradona” mana yang dimaksud baru disebutkan di paragraf terakhir artikel tersebut.


Bisnis Model Baru Itu Disebut Jurnalisme
Mungkin Anda lelah dengan berbagai pemberitaan di media saat ini. Sama, saya juga sangat lelah. Saya yakin, di luar sana ada sangat banyak orang yang setuju bahwa kita sudah terlalu lelah membaca media-media kita saat ini.
Setiap pagi, saya pasti menemukan judul-judul berita sensasional di media-media online yang saya ikuti. Sering kali judul tidak mencerminkan isi berita. Lantas, mengapa media-media ini tetap “laku” di pasaran sekalipun kalau Anda lihat di komentar-komentar yang dikirimkan dari pembaca juga tidak sedikit yang marah kepada si media dengan isi berita yang: tidak penting, tidak jelas, salah (tidak akurat).
Saya hanya bisa mengatakan bahwa inilah salah satu model bisnis baru yang sangat menjanjikan: jurnalisme. Media sebagai suatu perusahaan tentunya juga bicara soal untung-rugi. Biar bagaimanapun juga, media butuh pemasukan untuk menjalankan perusahaannya. Namun, yang salah adalah ketika masalah untung-rugi inilah yang menjadi dasar  dijalankannya perusahaan. Media yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, kini rasa-rasanya tidak lagi pantas menyandang status itu.
Mengapa media memublikasikan berita-berita sensasional dan picisan? Tentunya ini karena masyarakat juga menyukai hal-hal yang sensasional dan picisan. Dalam titik tertentu, masyarakat mungkin akan bosan dengan hal-hal semacam ini, tapi karena kita sudah terbiasa mengonsumsi berita “kacangan”, secara tidak sadar kita pun terbiasa mencerna konten-konten berita semacam ini. Bagi media, berita-berita semacam ini, yang menarik perhatian pembaca, akan membuat situs media ini diklik berkali-kali, sehingga traffic situs pun meningkat. Meningkatnya traffic situs berarti satu: akan ada lebih banyak iklan yang bisa dipasang di situs (baca: pemasukan iklan meningkat).
Jujur saja, masyarakat kita sebetulnya kurang suka membaca. Saya justru salut jika Anda masih bertahan membaca tulisan saya hingga paragraf ini. Karena menurut pengamatan saya (karena saya juga bekerja di media dan berhubungan dengan media sosial setiap hari), hampir sebagian besar update yang dipublikasikan di media sosial oleh akun-akun media di tanah air kini mendapatkan banyak komentar di media sosial (bukan di artikelnya) jika: (1) ada gambar berupa tokoh terkenal atau gambar yang mengundang “like”, (2) judul berita yang mengundang “like” atau membuat orang ingin berkomentar (terhadap judulnya), dan (3) kata-kata yang juga tidak kalah sensional yang dipublikasikan bersamaan dengan tautan artikel tersebut.
Kunci agar suatu profesi dapat diterima di masyarakat adalah kredibilitas profesi tersebut. Untuk mendapatkan itu, profesi haruslah mendapat kepercayaan masyarakat. Tentunya masyarakat tidak akan dengan mudah memberikan kepercayaan terhadap suatu profesi begitu saja. Oleh karena itu, diperlukan etika profesi bagi setiap profesi untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tetap aman jika berhubungan dengan profesi tersebut. Saat menjadi seorang jurnalis di Indonesia maka otomatis jurnalis tersebut berada di bawah kode etik jurnalistik sebagai self-regulation para jurnalis. Etika ini mengatur sikap, tingkah laku, dan cara kerja jurnalis di tiap proses pencarian berita. Kode etik ini mengatur jurnalis saat jurnalis mencari, mengumpulkan, memverifikasi, dan memublikasikan berita.
Namun, pada akhirnya, semua ini kembali pada si jurnalis dan editor. Apakah mereka masih punya “hati” untuk menjejali masyarakat dengan berita-berita “kacangan”? Di mana fungsi pendidikan dari media? Kini rasa-rasanya sudah tidak ada lagi. Bagi masyarakat, saya pikir sudah saatnya kita lebih cerdas dalam memilah-milih informasi. Dulu, kita bisa katakan bahwa ketika kita mendapat informasi dari media, itu adalah informasi yang akurat. Kini, ketika kita berbagai informasi dari berita, kita pasti akan bertanya, “Dari media mana?”

Informasi tidak hanya didapat dari media massa seperti, koran, televisi ataupun radio. Kemajuan teknologi tersebut juga memunculkan media sosial yang digandrungi oleh banyak orang. Media sosial yang terkesan lebih fun, dan kedekatannya dengan tiap-tiap pengguna menjadi alasan utama masyarakat lebih banyak mengakses media sosial. Ada beberapa ciri dari media sosial, seperti : interaktivitas, komunitas, fun, keterkaitan, saling berbagi dan media untuk berpartisipasi.
Jurnalisme dan media sosial jelas berbeda. Jurnalisme secara singkat dijelaskan sebagai proses news gathering, news producing dan editing. Proses tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bekerja dan tahu mengenai jurnalisme. Di dalam jurnalisme juga mengedepankan verifikasi data dan kelengkapan 5W+1H di setiap pemberitaannya. Selain itu ada gatekeeper, atau mereka yang bertugas untuk menyaring setiap berita dan informasi yang sudah diliput oleh jurnalis. 
Sehingga, berita yang diberikan bukan berita omong kosong dan sudah melalui beberapa proses hingga akhirnya berita tersebut layak untuk diberitakan. Mengingat bahwa media massa adalah sumber informasi bagi masyarakat. Berita yang dibagikan ke masyarakat haruslah benar agar tidak terjadi informasi yang berbeda. 
Media sosial disebut juga participatory journalism, maksudnya ialah peran melakukan informasi yang dilakukan oleh mereka yang bukan bekerja sebagai seorang jurnalis. Jadi, bagi mereka yang tergabung di dalam suatu media sosial, contohnya saja twitter, dapat berbagi informasi kepada followersnya. Orang tersebut sudah memilihkan berita untuk dibagikan kepada orang lain. Media sosial tidak mengenal adanya gatekeeper seperti jurnalisme sehingga informasi yang diberikan bebas. 
Media sosial juga tidak melakukan proses verifikasi. Berita dan informasi yang diberikan melalui media sosial tidak sepenuhnya benar. Seperti contoh, ketika ada seseorang yang me-tweet mengenai harga BBM naik di seluruh Indonesia menjadi Rp 10.000. Belum tentu informasi tersebut benar adanya. Hal itu menjadi benar dan layak diberitakan ketika sudah ada sebuah berita di media massa dan ada proses verifikasi di dalam prosesnya. Media sosial tidak sepenuhnya salah.
Akan lebih baik jika media sosial digunakan untuk membagikan berita yang didapat melalui media online. Ketika media sosial membagikan beritanya melalui media sosial, maka masyarakat akan lebih cepat mengakses dan mengetahui berita tersebut, karena peran media sosial yang sangat dekat dengan masyarakat.  Seperti contohnya, saya yang memang lebih sering mendapatkan informasi melalui media sosial ketimbang media online, karena saya lebih sering mengakses media sosial, seperti facebook dan twitter.
Tidak hanya informasi mengenai kabar teman-teman saja yang saya dapat melalui media sosial, tetapi juga berita yang dibagikan melalui akun media sosial. Kecenderungan masyarakat yang lebih menggunakan media sosial ini kemudian digunakan oleh pihak media online untuk membagikan beritanya. Mereka kemudian membuat akun media sosial, dan disana mereka akan membagi berita. Pengguna media sosial yang mengikuti akun mereka, akan secara langsung mendapatkan berita tersebut.



 Konvergensi Media


Apa itu konvergensi??, Briggs dan Bourke (2002: 267), seperti dikutip Dwyer di Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies (2010, bab 1), mengatakan bahwa istilah “konvergensi” diaplikasikan pada perkembangan teknologi digital yang paling sering terjadi, yaitu integrasi teks, angka, gambar, dan suara—atau digitalisasi. Walaupun begitu, itu hanyalah ‘secuil’ dari perubahan di media saat ini.
Satu perkembangan teknologi yang dilihat benar-benar mengubah bagaimana konten diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi adalah Internet. Namun ini tidak untuk disalahkaprahkan, karena konvergensi media bukanlah persoalan internetisasi dan digitalisasi saja, melainkan ada implikasi pada newsroom, pada bagaimana konsumen mengkonsumsi konten (dan memproduksinya), dan pada media lama yang dikatakan terancam 'punah'. Seperti bisa dilihat saat ini, berbagai media konvensional, terutama surat kabar dan televisi, sudah menggunakan teknologi Internet sebagai ‘perpanjangan’ dari apa yang mereka sudah miliki.
Terlihat simpel, tapi bila ditelaah, Internet sebenarnya merupakan ‘entitas’ yang berbeda—ia bisa melakukan apa yang media konvensional lakukan, sekaligus menjadi platform bagi individu berkomunikasi antar satu sama lain. Seperti diungkapkan Dwyer (2010), Internet merupakan medium point-to-point tapi juga sekaligus point-to-multipoint (mass).
Segala konten yang tersebar di Internet, baik itu video-video di Youtube, blog, profil Facebook, musik di MySpace, online game, hingga VoIP, mengubah bagaimana media diciptakan, disebar, dan dinikmati. Untuk mengerti ini, Dailey, Demo, dan Spillman (2005) menjabarkan 5 aktivitas konvergensi news organizations, yaitu: cross-promotion, cloning, “coopetition,” content sharing, dan full convergence. Yang pertama adalah yang paling sederhana—memberikan awareness akan mitra masing-masing.
Yang kedua adalah menjiplak konten dari media lain. Yang ketiga merupakan usaha media untuk saling bekerjasama namun juga berkompetisi. Yang keempat adalah saling membagikan paket konten dan kadang anggaran. Dan yang terakhir, full convergence, media saling berbagi dalam mencari dan menyebarkan berita, dengan tujuan mengoptimalisasi kelebihan masing-masing media untuk menyampaikan berita.
Dalam organisasi berita, bentuk konvergensi di lapangan bisa bervariasi dan pada bermacam-macam tingkat. Ada yang hanya menaruh link, ada juga yang sampai tahap di mana jurnalis surat kabar tampil on-air di televisi—sebaliknya, staf di TV juga menyumbangkan berita pada surat kabar. Hal ini memberikan akibatnya tersendiri. Jurnalis dituntut untuk bisa multitasking serta memiliki banyak kemampuan berkaitan dengannews-gathering.
Bila dulu jurnalis hanya tinggal membawa notes dan pulpen, sekarang ada istilah “backpack journalism”, di mana satu jurnalis juga membawa kamera dan peralatan lainnya karena dituntut untuk bisa mendapatkan berita yang bisa diaplikasikan pada beragam platform.
Pada tahun 1990, Bill Gates pernah meramalkan, 10 tahun lagi (tahun 2000) suratkabar cetak akan mati digantikan oleh teknologi suratkabar baru yang berbasis teks elektronik. Setelah sepuluh tahun berselang, pendiri Microsoft tersebut, merevisi prediksinya, yakni sekitar 50 tahun lagi ke depan, ramalannya baru akan terwujud. Prediksi yang dikemukakan Gates memang tidak terbukti tepat waktu, namun terlepas dari perdebatan apakah benar saat ini suratkabar elektronik akan mematikan suratkabar cetak, sekadar menggantikan, atau bahkan menyempurnakannya, teknologi selalu menjadi bagian terpenting dari perkembangan suatu jenis media massa.
Kenyataan tersebut sejalan dengan teori konvergensi media yang menyatakan bahwa berbagai perkembangan bentuk media massa terus terjadi sejak awal penemuannya. Setiap model media terbaru cenderung menjadi perpanjangan atau evolusi dari model-model pendahulunya. Hukum teknologi berkembang berdasarkan deret ukur, melampaui deret hitung. Jika media konvensional tidak melakukan penyesuaian, akan tertinggal jauh. Demikianlah sifat perubahan dan penetrasi teknologi komunikasi terhadap media massa.


SUMBER :



https://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F1.bp.blogspot.com%2F--ybJmnzhqy8%2FVIatPkA7VSI%2FAAAAAAAAILM%2F7GLDEFTj_qo%2Fs1600%2FJurnalisme%252BMedia%252BSosial.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fwww.romelteamedia.com%2F2014%2F12%2Fjurnalistik-media-sosial-update.html&docid=WecZuKe44V4HuM&tbnid=KkqPc6Gnfvl7ZM%3A&w=700&h=387&bih=530&biw=1093&ved=0ahUKEwjGpo_Qg4_PAhUQ-2MKHR6JBtUQMwghKAUwBQ&iact=mrc&uact=8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar