KAPITA SELEKTA
KAMIS, 8 September 2016
TUGAS 2 - KELAS C
CRISTINA MARGARETTA (9125120128)
YOVINA SUSANTI SUHANDRI (915120035)
Kegiatan jurnalisme di era
modern atau era tekonologi digital bergerak dan berkembang ke suatu bentuk
jurnalisme baru yang ditunjang dengan media baru, yaitu internet. Bentuk
jurnalisme ini dikenal dengan jurnalisme 2.0. Salah satu alasan Jurnalisme 2.0 hadir
adalah karena para jurnalis harus siap melakukan aktivitas jurnalisme melalui
berbagai saluran.
Pada mulanya perkembangan
media online sempat
membuat berbagai media cetak khawatir. Media-media cetak sempat mengkhawatirkan
bahwa media online akan
“menghabisi” media cetak karena melihat kecenderungan konsumsi media online masyarakat
sekarang ini. Namun, ternyata yang terjadi adalah kebalikan dari kekhawatiran
tersebut.
Media cetak kini saling
berlomba membuat situs medianya. Hampir seluruh media cetak kini memiliki
website atau versi online dari versi media cetaknya. Salah satu dampak positif
dari dibuatnya versi online suatu media cetak tentu terbukanya
lapangan kerja baru bagi masyarakat akibat adanya pembagian kerja dan deskripsi
kerja (job
description) yang berbeda antara kedua versi media tersebut.
Dampak positif lainnya adalah
distribusi pesan atau berita yang semakin cepat. Suatu peristiwa atau kejadian
bisa saja dilaporkan atau di-update langsung saat peristiwa tersebut
terjadi karena semakin canggihnya teknologi saat ini.
Selain itu, perkembangan
jurnalisme online tidak hanya berhenti sampai situ. Kini media-media cetak pun
tidak kalah bersaing dalam membuat serta meng-update secara cepat dan
berkala akun-akun resmi jejaring sosialnya, seperti Facebook dan Twitter.
Berita yang di-update melalui
situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, terbukti mampu
“menyerap” perhatian publik dalam waktu singkat. Bahkan tidak jarang pula,
media-media, baik cetak maupun online, mendapatkan berita dari berbagai
pembicaraan publik atau akibat reaksi publik yang terjadi di dunia maya.
Dalam perkembangan situs
jejaring sosial, situs microblogging seperti Twitter adalah suatu
situs yang sangat diminati oleh berbagai media. Berbeda dengan Facebook yang didesain
untuk menjaring pertemanan, Twitter didesain untuk menyebarkan dan meng-update pesan-pesan
singkat.
Fenomena
Jurnalisme Twitter
Seiring dengan perkembangan
teknologi yang semakin maju, potensi munculnya bad journalism(jurnalisme
“nakal”) pun semakin besar. Walaupun situs microblogging, seperti Twitter
memberi banyak dampak positif bagi perkembangan jurnalisme, khususnya di
Indonesia, berbagai dampak negatif pun tetap tidak dapat terhindarkan. Bentuk
jurnalisme baru pun kini mulai hadir. Suatu fenomena baru dalam dunia
jurnalisme kini hadir dengan bentuk “Jurnalisme Twitter”.
Jurnalisme ini pada dasarnya
tidak jauh berbeda dengan jurnalisme online, hanya saja para jurnalis yang dikenal
dengan Jurnalisme Twitter adalah para jurnalis yang sering kali memanfaatkan
Twitter sebagai sumber berita. Lantas, bagaimana dengan keakurasian data atau
berita tersebut? Walaupun berita ter-update dengan sangat cepat, keakuratan
berita tetap harus menjadi yang paling penting karena menyangkut kredibilitas
jurnalisme dan tentunya perusahaan media tersebut.
Bentuk negatif lainnya dari
fenomena Jurnalisme Twitter ini juga hadirnya berbagai judul-judul berita yang
menggantung, tidak jelas, dan sensasional. Hal-hal seperti ini pun tidak jarang
terjadi pada media-media cetak yang sudah mempunyai nama besar di Indonesia.
Tentunya fenomena ini menjadi semakin menarik untuk dikaji karena
prinsip-prinsip dan etika-etika jurnalisme yang dahulu dipegang teguh oleh para
jurnalis semakin lama semakin “luntur” akibat perkembangan teknologi yang di
satu sisi memang memudahkan pendapatan sumber informasi, tapi di satu sisi juga
dapat mengaburkan pemberitaan informasi.
Kecepatan
dan Keakuratan Berita
Selasa, 18 Mei 2010,
Indonesia sempat dikejutkan dengan berita meninggalnya pencipta lagu Bengawan
Solo, Gesang. Berita ini bermula dari kicauan akun salah satu stasiun televisi
yang kemudian dengan cepat menyebar di linimasa Twitter. Berita meninggalnya
Gesang tentu saja sangat mengagetkan khalayak luas. Dampak pemberitaan itu pun
benar-benar sangat luas. Pihak keluarga pun harus mengeluarkan pernyataan bahwa
Gesang belum wafat, tapi masih menjalani perawatan intensif di ruang ICU RS PKU
Muhammadiyah, Solo, Jawa Tengah karena menderita gangguan lemah jantung dan saluran
kemih.
Dari sana pun akhirnya mulai
muncul berbagai komentar publik mengenai Jurnalisme Twitter. Komentar-komentar
tersebut tentu saja bukanlah untuk memuji kepiawaian para jurnalis stasiun
televisi berita tersebut melainkan menyindir dengan sangat keras. Pemberitaan
yang tidak akurat yang diturunkan stasiun televisi berita itu sangat
menyesatkan publik dan berdampak sangat luas. Hal ini harusnya bisa dihindari
karena seharusnya seorang jurnalis tidak akan memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai sesuatu yang belum pasti dan tidak sesuai fakta di lapangan.
Senin, 7 Maret 2011, akun
Twitter Kompas.com mengeluarkan
satu tweet yang
cukup sensasional. Tweet tersebut yang merupakan judul dari artikel yang
dipublikasikan di situs Kompas.com berjudul, “Maradona Hilang Tergulung Ombak
di Bali”. Nama “Maradona” tentu dikenal masyarakat sebagai Maradona sang
legenda sepakbola Argentina, Diego Maradona. Namun, ternyata di berita tersebut
diceritakan mengenai delapan remaja asal Buleleng, Bali yang tergulung ombak
saatmelukat atau
membersihkan diri usai Nyepi di pantai Pangyangan. Tiga dari delapan remaja
itu, Komang Maradona, Putu Juli Ardika, dan Agung Gede Krisyudiarta belum
ditemukan. Jadi, “Maradona” yang dimaksud adalah salah seorang remaja Bali.
Sementara itu, penjelasan mengenai “Maradona” mana yang dimaksud baru
disebutkan di paragraf terakhir artikel tersebut.
Bisnis Model Baru Itu Disebut
Jurnalisme
Mungkin Anda lelah dengan
berbagai pemberitaan di media saat ini. Sama, saya juga sangat lelah. Saya
yakin, di luar sana ada sangat banyak orang yang setuju bahwa kita sudah
terlalu lelah membaca media-media kita saat ini.
Setiap pagi, saya pasti
menemukan judul-judul berita sensasional di media-media online yang
saya ikuti. Sering kali judul tidak mencerminkan isi berita. Lantas, mengapa
media-media ini tetap “laku” di pasaran sekalipun kalau Anda lihat di
komentar-komentar yang dikirimkan dari pembaca juga tidak sedikit yang marah
kepada si media dengan isi berita yang: tidak penting, tidak jelas, salah
(tidak akurat).
Saya hanya
bisa mengatakan bahwa inilah salah satu model bisnis baru yang sangat
menjanjikan: jurnalisme. Media sebagai suatu perusahaan tentunya juga bicara soal
untung-rugi. Biar bagaimanapun juga, media butuh pemasukan untuk menjalankan
perusahaannya. Namun, yang salah adalah ketika masalah untung-rugi inilah yang
menjadi dasar dijalankannya perusahaan. Media yang seharusnya menjadi
pilar keempat demokrasi, kini rasa-rasanya tidak lagi pantas menyandang status
itu.
Mengapa media memublikasikan
berita-berita sensasional dan picisan? Tentunya ini karena masyarakat juga
menyukai hal-hal yang sensasional dan picisan. Dalam titik tertentu, masyarakat
mungkin akan bosan dengan hal-hal semacam ini, tapi karena kita sudah terbiasa
mengonsumsi berita “kacangan”, secara tidak sadar kita pun terbiasa mencerna
konten-konten berita semacam ini. Bagi media, berita-berita semacam ini, yang
menarik perhatian pembaca, akan membuat situs media ini diklik berkali-kali,
sehingga traffic situs
pun meningkat. Meningkatnya traffic situs berarti satu: akan ada lebih
banyak iklan yang bisa dipasang di situs (baca: pemasukan iklan meningkat).
Jujur saja, masyarakat kita
sebetulnya kurang suka membaca. Saya justru salut jika Anda masih bertahan
membaca tulisan saya hingga paragraf ini. Karena menurut pengamatan saya
(karena saya juga bekerja di media dan berhubungan dengan media sosial setiap
hari), hampir sebagian besar update yang dipublikasikan di media sosial
oleh akun-akun media di tanah air kini mendapatkan banyak komentar di media
sosial (bukan di artikelnya) jika: (1) ada gambar berupa tokoh terkenal atau
gambar yang mengundang “like”, (2) judul berita yang mengundang “like” atau
membuat orang ingin berkomentar (terhadap judulnya), dan (3) kata-kata yang
juga tidak kalah sensional yang dipublikasikan bersamaan dengan tautan artikel
tersebut.
Kunci agar suatu profesi
dapat diterima di masyarakat adalah kredibilitas profesi tersebut. Untuk
mendapatkan itu, profesi haruslah mendapat kepercayaan masyarakat. Tentunya
masyarakat tidak akan dengan mudah memberikan kepercayaan terhadap suatu
profesi begitu saja. Oleh karena itu, diperlukan etika profesi bagi setiap profesi
untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tetap aman jika berhubungan dengan
profesi tersebut. Saat menjadi seorang jurnalis di Indonesia maka otomatis
jurnalis tersebut berada di bawah kode etik jurnalistik sebagai self-regulation para
jurnalis. Etika ini mengatur sikap, tingkah laku, dan cara kerja jurnalis di
tiap proses pencarian berita. Kode etik ini mengatur jurnalis saat jurnalis
mencari, mengumpulkan, memverifikasi, dan memublikasikan berita.
Namun, pada akhirnya, semua
ini kembali pada si jurnalis dan editor. Apakah mereka masih punya “hati” untuk
menjejali masyarakat dengan berita-berita “kacangan”? Di mana fungsi pendidikan
dari media? Kini rasa-rasanya sudah tidak ada lagi. Bagi masyarakat, saya pikir
sudah saatnya kita lebih cerdas dalam memilah-milih informasi. Dulu, kita bisa
katakan bahwa ketika kita mendapat informasi dari media, itu adalah informasi
yang akurat. Kini, ketika kita berbagai informasi dari berita, kita pasti akan
bertanya, “Dari media mana?”
Informasi tidak hanya didapat
dari media massa seperti, koran, televisi ataupun radio. Kemajuan teknologi
tersebut juga memunculkan media sosial yang digandrungi oleh banyak orang.
Media sosial yang terkesan lebih fun, dan kedekatannya dengan tiap-tiap
pengguna menjadi alasan utama masyarakat lebih banyak mengakses media sosial.
Ada beberapa ciri dari media sosial, seperti : interaktivitas, komunitas, fun,
keterkaitan, saling berbagi dan media untuk berpartisipasi.
Jurnalisme dan media sosial
jelas berbeda. Jurnalisme secara singkat dijelaskan sebagai proses news
gathering, news producing dan editing. Proses tersebut dilakukan oleh
orang-orang yang bekerja dan tahu mengenai jurnalisme. Di dalam jurnalisme juga
mengedepankan verifikasi data dan kelengkapan 5W+1H di setiap pemberitaannya. Selain
itu ada gatekeeper, atau mereka yang bertugas untuk menyaring setiap berita dan
informasi yang sudah diliput oleh jurnalis.
Sehingga, berita yang diberikan
bukan berita omong kosong dan sudah melalui beberapa proses hingga akhirnya
berita tersebut layak untuk diberitakan. Mengingat bahwa media massa adalah
sumber informasi bagi masyarakat. Berita yang dibagikan ke masyarakat haruslah
benar agar tidak terjadi informasi yang berbeda.
Media sosial disebut juga
participatory journalism, maksudnya ialah peran melakukan informasi yang
dilakukan oleh mereka yang bukan bekerja sebagai seorang jurnalis. Jadi, bagi
mereka yang tergabung di dalam suatu media sosial, contohnya saja twitter,
dapat berbagi informasi kepada followersnya. Orang tersebut sudah memilihkan
berita untuk dibagikan kepada orang lain. Media sosial tidak mengenal adanya
gatekeeper seperti jurnalisme sehingga informasi yang diberikan bebas.
Media sosial juga tidak
melakukan proses verifikasi. Berita dan informasi yang diberikan melalui media
sosial tidak sepenuhnya benar. Seperti contoh, ketika ada seseorang yang
me-tweet mengenai harga BBM naik di seluruh Indonesia menjadi Rp 10.000. Belum
tentu informasi tersebut benar adanya. Hal itu menjadi benar dan layak
diberitakan ketika sudah ada sebuah berita di media massa dan ada proses
verifikasi di dalam prosesnya. Media sosial tidak sepenuhnya salah.
Akan lebih baik jika media
sosial digunakan untuk membagikan berita yang didapat melalui media online.
Ketika media sosial membagikan beritanya melalui media sosial, maka masyarakat
akan lebih cepat mengakses dan mengetahui berita tersebut, karena peran media
sosial yang sangat dekat dengan masyarakat. Seperti contohnya, saya yang
memang lebih sering mendapatkan informasi melalui media sosial ketimbang media
online, karena saya lebih sering mengakses media sosial, seperti facebook dan
twitter.
Tidak hanya informasi mengenai
kabar teman-teman saja yang saya dapat melalui media sosial, tetapi juga berita
yang dibagikan melalui akun media sosial. Kecenderungan masyarakat yang lebih
menggunakan media sosial ini kemudian digunakan oleh pihak media online untuk
membagikan beritanya. Mereka kemudian membuat akun media sosial, dan disana
mereka akan membagi berita. Pengguna media sosial yang mengikuti akun mereka,
akan secara langsung mendapatkan berita tersebut.
Konvergensi Media
Apa itu konvergensi??, Briggs
dan Bourke (2002: 267), seperti dikutip Dwyer di Media Convergence: Issues in
Cultural and Media Studies (2010, bab 1), mengatakan bahwa istilah
“konvergensi” diaplikasikan pada perkembangan teknologi digital yang paling
sering terjadi, yaitu integrasi teks, angka, gambar, dan suara—atau
digitalisasi. Walaupun begitu, itu hanyalah ‘secuil’ dari perubahan di media
saat ini.
Satu perkembangan teknologi
yang dilihat benar-benar mengubah bagaimana konten diproduksi, didistribusikan,
dan dikonsumsi adalah Internet. Namun ini tidak untuk disalahkaprahkan, karena
konvergensi media bukanlah persoalan internetisasi dan digitalisasi saja,
melainkan ada implikasi pada newsroom, pada bagaimana konsumen mengkonsumsi
konten (dan memproduksinya), dan pada media lama yang dikatakan terancam
'punah'. Seperti bisa dilihat saat ini, berbagai media konvensional, terutama
surat kabar dan televisi, sudah menggunakan teknologi Internet sebagai
‘perpanjangan’ dari apa yang mereka sudah miliki.
Terlihat simpel, tapi bila
ditelaah, Internet sebenarnya merupakan ‘entitas’ yang berbeda—ia bisa
melakukan apa yang media konvensional lakukan, sekaligus menjadi platform bagi
individu berkomunikasi antar satu sama lain. Seperti diungkapkan Dwyer (2010),
Internet merupakan medium point-to-point tapi juga sekaligus
point-to-multipoint (mass).
Segala konten yang tersebar di
Internet, baik itu video-video di Youtube, blog, profil Facebook, musik di
MySpace, online game, hingga VoIP, mengubah bagaimana media diciptakan,
disebar, dan dinikmati. Untuk mengerti ini, Dailey, Demo, dan Spillman (2005)
menjabarkan 5 aktivitas konvergensi news organizations, yaitu: cross-promotion,
cloning, “coopetition,” content sharing, dan full convergence. Yang pertama
adalah yang paling sederhana—memberikan awareness akan mitra masing-masing.
Yang kedua adalah menjiplak
konten dari media lain. Yang ketiga merupakan usaha media untuk saling
bekerjasama namun juga berkompetisi. Yang keempat adalah saling membagikan
paket konten dan kadang anggaran. Dan yang terakhir, full convergence, media
saling berbagi dalam mencari dan menyebarkan berita, dengan tujuan
mengoptimalisasi kelebihan masing-masing media untuk menyampaikan berita.
Dalam organisasi berita, bentuk
konvergensi di lapangan bisa bervariasi dan pada bermacam-macam tingkat. Ada
yang hanya menaruh link, ada juga yang sampai tahap di mana jurnalis surat
kabar tampil on-air di televisi—sebaliknya, staf di TV juga menyumbangkan
berita pada surat kabar. Hal ini memberikan akibatnya tersendiri. Jurnalis
dituntut untuk bisa multitasking serta memiliki banyak kemampuan berkaitan
dengannews-gathering.
Bila dulu jurnalis hanya
tinggal membawa notes dan pulpen, sekarang ada istilah “backpack journalism”,
di mana satu jurnalis juga membawa kamera dan peralatan lainnya karena dituntut
untuk bisa mendapatkan berita yang bisa diaplikasikan pada beragam platform.
Pada tahun 1990, Bill Gates
pernah meramalkan, 10 tahun lagi (tahun 2000) suratkabar cetak akan mati
digantikan oleh teknologi suratkabar baru yang berbasis teks elektronik.
Setelah sepuluh tahun berselang, pendiri Microsoft tersebut, merevisi
prediksinya, yakni sekitar 50 tahun lagi ke depan, ramalannya baru akan
terwujud. Prediksi yang dikemukakan Gates memang tidak terbukti tepat waktu,
namun terlepas dari perdebatan apakah benar saat ini suratkabar elektronik akan
mematikan suratkabar cetak, sekadar menggantikan, atau bahkan
menyempurnakannya, teknologi selalu menjadi bagian terpenting dari perkembangan
suatu jenis media massa.
Kenyataan tersebut sejalan
dengan teori konvergensi media yang menyatakan bahwa berbagai perkembangan
bentuk media massa terus terjadi sejak awal penemuannya. Setiap model media
terbaru cenderung menjadi perpanjangan atau evolusi dari model-model
pendahulunya. Hukum teknologi berkembang berdasarkan deret ukur, melampaui
deret hitung. Jika media konvensional tidak melakukan penyesuaian, akan
tertinggal jauh. Demikianlah sifat perubahan dan penetrasi teknologi komunikasi
terhadap media massa.
SUMBER :
https://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F1.bp.blogspot.com%2F--ybJmnzhqy8%2FVIatPkA7VSI%2FAAAAAAAAILM%2F7GLDEFTj_qo%2Fs1600%2FJurnalisme%252BMedia%252BSosial.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fwww.romelteamedia.com%2F2014%2F12%2Fjurnalistik-media-sosial-update.html&docid=WecZuKe44V4HuM&tbnid=KkqPc6Gnfvl7ZM%3A&w=700&h=387&bih=530&biw=1093&ved=0ahUKEwjGpo_Qg4_PAhUQ-2MKHR6JBtUQMwghKAUwBQ&iact=mrc&uact=8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar